Dalam tradisi Jawa Jaka/Joko
Tingkir atau Mas Karèbèt atau ejaan Tionghoa: Peng
King Kang[1], adalah pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan
Pajang yang memerintah tahun 1549-1582 dengan nama Hadiwijaya.
Asal-usul
Nama aslinya adalah Mas
Karèbèt, putra Ki Ageng Pengging atau Ki Kebo Kenanga. Ketika ia
dilahirkan, ayahnya sedang menggelar pertunjukan wayang beber dengan
dalang Ki Ageng Tingkir.[2] Kedua ki ageng ini adalah murid Syekh
Siti Jenar. Sepulang dari mendalang, Ki Ageng Tingkir jatuh sakit dan meninggal
dunia.
Sepuluh tahun kemudian, Ki
Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh memberontak terhadap Kerajaan
Demak. Sebagai pelaksana hukuman ialah Sunan Kudus. Setelah kematian
suaminya, Nyai Ageng Pengging jatuh sakit dan meninggal pula. Sejak itu, Mas
Karebet diambil sebagai anak angkat Nyai Ageng Tingkir (janda Ki Ageng
Tingkir).
Mas Karebet tumbuh menjadi pemuda
yang gemar bertapa, dan dijuluki Jaka Tingkir. Guru pertamanya adalah Sunan
Kalijaga. Ia juga berguru pada Ki Ageng Sela, dan dipersaudarakan dengan
ketiga cucu Ki Ageng yaitu, Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan,
dan Ki Panjawi.
Silsilah Jaka
Tingkir:
|
Andayaningrat (tidak diketahui nasabnya)
|
|
|
|
Ratu Pembayun
(Putri Raja Brawijaya)
|
|
|
|
|
|
|||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
Kebo Kenanga
|
|
|
|
Nyi Ageng
Pengging)
|
|
||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
Mas Karebet/Joko
Tingkir (Hadiwijaya Raja Pajang)
|
|
|
|
|
||||||||
Mengabdi ke Demak
Babad Tanah Jawi selanjutnya
mengisahkan, Jaka Tingkir ingin mengabdi ke ibu kota Demak. Di sana ia
tinggal di rumah Kyai Gandamustaka (saudara Nyi Ageng Tingkir) yang menjadi
perawat Masjid Demak berpangkat lurah ganjur. Jaka Tingkir
pandai menarik simpati raja Demak Trenggana sehingga ia diangkat
menjadi kepala prajurit Demak berpangkatlurah wiratamtama.
Beberapa waktu kemudian, Jaka
Tingkir bertugas menyeleksi penerimaan prajurit baru. Ada seorang pelamar
bernama Dadungawuk yang sombong dan suka pamer. Jaka Tingkir menguji
kesaktiannya dan Dadungawuk tewas hanya dengan menggunakan Sadak Kinang.
Akibatnya, Jaka Tingkir pun dipecat dari ketentaraan dan diusir dari Demak.
Jaka Tingkir kemudian berguru
pada Ki Ageng Banyubiru atau Ki Kebo Kanigoro (saudara tua ayahnya / kakak
mendiang ayahnya). Setelah tamat, ia kembali ke Demak bersama ketiga
murid yang lain, yaitu Mas Manca, Mas Wila, dan Ki Wuragil.
Rombongan Jaka Tingkir menyusuri
Sungai Kedung Srengenge menggunakan rakit. Muncul kawanan siluman buaya menyerang
mereka namun dapat ditaklukkan. Bahkan, kawanan tersebut kemudian membantu
mendorong rakit sampai ke tujuan.
Saat itu Trenggana
sekeluarga sedang berwisata di Gunung Prawoto. Jaka Tingkir melepas seekor
kerbau gila yang dinamakan sebagai Kebo Danu yang sudah diberi mantra (diberi
tanah kuburan pada telinganya). Kerbau itu mengamuk menyerang pesanggrahan
raja, di mana tidak ada prajurit yang mampu melukainya.
Jaka Tingkir tampil
menghadapi kerbau gila. Kerbau itu dengan mudah dibunuhnya. Atas jasanya itu,
Trenggana mengangkat kembali Jaka Tingkir menjadi lurah wiratamtama.
Kisah dalam babad tersebut seolah
hanya kiasan, bahwa setelah dipecat, Jaka Tingkir menciptakan kerusuhan
di Demak, dan ia tampil sebagai pahlawan yang meredakannya. Oleh karena
itu, ia pun mendapatkan simpati raja kembali.
Menjadi Raja Pajang
Prestasi Jaka Tingkir sangat
cemerlang meskipun tidak diceritakan secara jelas dalam Babad Tanah Jawi.
Hal itu dapat dilihat dengan diangkatnya Jaka Tingkir sebagai Adipati Pajang bergelar
Adipati Adiwijaya. Ia juga menikahi Ratu Mas Cempaka, putri Trenggana.
Sepeninggal Trenggana tahun 1546,
puteranya yang bergelar Sunan Prawoto seharusnya naik takhta, tapi
kemudian ia tewas dibunuh Arya Penangsang (sepupunya di Jipang) tahun
1549. Arya Penangsang membunuh karena Sunan Prawoto sebelumnya juga membunuh
ayah Aryo Penangsang yang bernama Pangeran Sekar Seda Lepen sewaktu ia
menyelesaikan salat ashar di tepi Bengawan Sore. Pangeran Sekar merupakan adik
kandung Trenggana sekaligus juga merupakan murid pertama Sunan Kudus.
Pembunuhan-pembunuhan ini dilakukan dengan menggunakan Keris Kiai Setan Kober.
Selain itu Aryo Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri suami dari Ratu
Kalinyamat yang menjadi bupatiJepara.
Kemudian Aryo Penangsang mengirim
utusan untuk membunuh Adiwijaya di Pajang, tapi gagal. Justru Adiwijaya
menjamu para pembunuh itu dengan baik, serta memberi mereka hadiah untuk
mempermalukan Arya Penangsang.
Sepeninggal suaminya, Ratu
Kalinyamat (adik Sunan Prawoto) mendesak Adiwijaya agar menumpas Aryo
Penangsangkarena hanya ia yang setara kesaktiannya dengan adipati Jipang
tersebut. Adiwijaya segan memerangi Aryo Penangsangsecara langsung karena
sama-sama anggota keluarga Demak dan merupakan saudara seperguruan
sama-sama murid Sunan Kudus.
Maka, Adiwijaya pun mengadakan
sayembara. Barangsiapa dapat membunuh Aryo Penangsang akan
mendapatkan tanahPati dan mentaok/Mataram sebagai hadiah.
Sayembara diikuti kedua
cucu Ki Ageng Sela, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi.
Dalam perang itu, Ki Juru Martani(kakak ipar Ki Ageng Pemanahan)
berhasil menyusun siasat cerdik sehingga sehingga Sutawijaya (Anak Ki Ageng
Pemanahan) dapat menewaskan Arya Penangsang setelah menusukkan Tombak
Kyai Plered ketika Aryo Penangsang menyeberang Bengawan Sore dengan mengendarai
Kuda Jantan Gagak Rimang.
Setelah peristiwa tahun 1549
tersebut, Pusat kerajaan tersebut kemudian dipindah ke Pajang dengan
Hadiwijaya sebagai raja pertama. Demak kemudian dijadikan Kadipaten dengan anak
Sunan Prawoto yang menjadi Adipatinya
Hadiwijaya juga mengangkat
rekan-rekan seperjuangannya dalam pemerintahan. Mas Manca dijadikan patih
bergelar Patih Mancanegara, sedangkan Mas Wila dan Ki Wuragil dijadikan menteri
berpangkat ngabehi.
Sumpah setia Ki Ageng
Mataram
Sesuai perjanjian
sayembara, Ki Panjawi mendapatkan tanah Pati dan bergelar
Ki Ageng Pati. Sementara itu, Ki Ageng Pemanahan masih menunggu
karena seolah-olah Hadiwijaya menunda penyerahan tanah Mataram.
Sampai tahun 1556, tanah Mataram masih
ditahan Adiwijaya. Ki Ageng Pemanahan segan untuk meminta. Sunan
Kalijagaselaku guru tampil sebagai penengah kedua muridnya itu. Ternyata,
alasan penundaan hadiah adalah dikarenakan rasa cemas Adiwijaya ketika
mendengar ramalan Sunan Prapen bahwa di Mataram akan lahir
sebuah kerajaan yang mampu mengalahkan kebesaran Pajang. Ramalan itu
didengarnya saat ia dilantik menjadi raja usai kematian Arya Penangsang.
Sunan Kalijaga meminta
Adiwijaya agar menepati janji karena sebagai raja ia adalah panutan rakyat.
Sebaliknya, Ki Ageng Pemanahan juga diwajibkan bersumpah setia
kepada Pajang. Ki Ageng bersedia. Maka, Adiwijaya pun rela menyerahkan
tanah Mataram pada kakak angkatnya itu.
Tanah Mataram adalah bekas
kerajaan kuno, bernama Kerajaan Mataram yang saat itu sudah tertutup
hutan bernama Alas Mentaok. Ki Ageng Pemanahan sekeluarga,
termasuk Ki Juru Martani, membuka hutan tersebut menjadi desaMataram.
Meskipun hanya sebuah desa namun bersifat perdikan atau sima swatantra. Ki
Ageng Pemanahan yang kemudian bergelar Ki Ageng Mataram, hanya diwajibkan
menghadap ke Pajang secara rutin sebagai bukti kesetiaan tanpa harus
membayar pajak dan upeti.
Menundukkan Jawa
Timur
Saat naik takhta, kekuasaan
Adiwijaya hanya mencakup wilayah Jawa Tengah saja, karena sepeninggal
Trenggana, banyak daerah bawahan Demak yang melepaskan diri.
Negeri-negeri di Jawa Timur yang
tergabung dalam Persekutuan Adipati Bang Wetan saat itu dipimpin oleh Panji
Wiryakrama bupati Surabaya. Persekutuan adipati tersebut sedang menghadapi
ancaman invansi dari berbagai penjuru, yaitu Pajang, Madura,
dan Blambangan.
Pada tahun 1568 Sunan Prapen penguasa Giri
Kedaton menjadi mediator pertemuan antara Hadiwijaya raja Pajang di atas
negeri yang mereka pimpin. Sebagai tanda ikatan politik, Panji Wiryakrama
diambil sebagai menantu Adiwijaya.
Selain itu, Adiwijaya juga berhasil
menundukkan Madura setelah penguasa pulau itu yang bernama Raden
Pratanu bergelar Panembahan Lemah Duwur Arosbaya menjadi menantunya.
Dalam pertemuan tahun 1568
itu, Sunan Prapen untuk pertama kalinya berjumpa dengan Ki Ageng
Pemanahan dan untuk kedua kalinya meramalkan bahwa Pajang akan
ditaklukkan Mataram melalui keturunan Ki Ageng tersebut.
Mendengar ramalan tersebut,
Adiwijaya tidak lagi merasa cemas karena ia menyerahkan semuanya pada kehendak
takdir.
Pemberontakan
Sutawijaya
Sutawijaya adalah
putra Ki Ageng Pemanahan yang juga menjadi anak angkat Hadiwijaya.
Sepeninggal ayahnya tahun 1575, Sutawijaya menjadi penguasa baru
di Mataram, dan diberi hak untuk tidak menghadap selama setahun penuh.
Waktu setahun berlalu dan Sutawijaya tidak
datang menghadap. Adiwijaya mengirim Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil
untuk menanyakan kesetiaan Mataram. Mereka menemukan Sutawijaya bersikap
kurang sopan dan terkesan ingin memberontak. Namun kedua pejabat senior itu
pandai menenangkan hati Adiwijaya melalui laporan mereka yang disampaikan
secara halus.
Tahun demi tahun berlalu.
Adiwijaya mendengar kemajuan Mataram semakin pesat. Ia pun kembali
mengirim utusan untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya. Kali ini yang berangkat
adalah Pangeran Benawa (putra mahkota), Arya Pamalad (menantu yang
menjadi adipati Tuban), serta Patih Mancanegara. Ketiganya dijamu dengan
pesta oleh Sutawijaya. Di tengah keramaian pesta, putra sulung Sutawijaya yang
bernama Raden Rangga membunuh seorang prajurit Tuban yang didesak
Arya Pamalad. Arya Pamalad sendiri sejak awal kurang suka dengan Sutawijaya sekeluarga.
Maka sesampainya di Pajang,
Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, sedangkan Pangeran
Benawamenjelaskan kalau peristiwa pembunuhan tersebut hanya kecelakaan saja.
Hadiwijaya menerima kedua laporan itu dan berusaha menahan diri.
Pada tahun 1582 seorang keponakan Sutawijaya yang
tinggal di Pajang, bernama Raden Pabelan dihukum mati karena berani
menyusup ke dalam keputrian menemui Ratu Sekar Kedaton (putri bungsu
Adiwijaya). Ayah Pabelan yang bernama Tumenggung Mayang dijatuhi hukuman buang
karena diduga ikut membantu anaknya.
Ibu Raden Pabelan yang merupakan
adik perempuan Sutawijaya meminta bantuan ke Mataram. Sutawijaya pun
mengirim utusan untuk merebut Tumenggung Mayang dalam perjalanan pembuangannya
ke Semarang.
Kematian
Perbuatan Sutawijaya itu
menjadi alasan Hadiwijaya untuk menyerang Mataram. Perang antara kedua
pihak pun meletus. Pasukan Pajang bermarkas di Prambanan dengan
jumlah lebih banyak, namun menderita kekalahan. Adiwijaya semakin tergoncang
mendengar Gunung Merapi tiba-tiba meletus dan laharnya ikut menerjang
pasukan Pajang yang berperang dekat gunung tersebut.
Adiwijaya menarik pasukannya
mundur. Dalam perjalanan pulang, ia singgah ke makam Sunan Tembayat namun
tidak mampu membuka pintu gerbangnya. Hal itu dianggapnya sebagai firasat kalau
ajalnya segera tiba.
Adiwijaya melanjutkan perjalanan
pulang. Di tengah jalan ia jatuh dari punggung gajah tunggangannya,
sehingga harus diusung dengan tandu. Sesampai di Pajang, datang makhluk
halus anak buah Sutawijaya bernama Ki Juru Taman memukul dada
Adiwijaya, membuat sakitnya bertambah parah.
Adiwijaya berwasiat supaya
anak-anak dan menantunya jangan ada yang membenci Sutawijaya, karena
perang antaraPajang dan Mataram diyakininya sebagai takdir.
Selain itu, Sutawijaya sendiri adalah anak angkat Adiwijaya yang
dianggapnya sebagai putra tertua. Pada cerita rakyat dinyatakan bahwa
sebenarnya Sutawijaya adalah anak kandung Adiwijaya dengan anak Ki Ageng Sela.
Adiwijaya alias Jaka Tingkir
akhirnya meninggal dunia tahun 1582 tersebut. Ia dimakamkan di desa Butuh,
yaitu kampung halaman ibu kandungnya.
Pengganti
Hadiwijaya memiliki beberapa
orang anak. Putri-putrinya antara lain dinikahkan dengan Panji Wiryakrama
Surabaya, Raden Pratanu Madura, dan Arya Pamalad Tuban. Adapun putri yang
paling tua dinikahkan dengan Arya Pangiri bupati Demak. Arya
Pangiri sebenarnya adalah anak raja Demak Sunan Prawoto, yang seharusnya memang
Arya Pangiri sebagai penerus garis suksesi Sultan Demak dahulu.
Arya Pangiri didukung
Panembahan Kudus (pengganti Sunan Kudus) untuk menjadi raja. Pangeran
Benawa sang "putra mahkota" disingkirkan menjadi bupati
Jipang. Arya Pangiri pun menjadi raja baru di Pajang dengan
nama tahta Ngawantipura.
Catatan kaki
1. ^ (Indonesia) Muljana,
Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya
negara-negara Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara.
hlm. 61. ISBN 9798451163.ISBN 9789798451164
2. ^ Kedua
nama "Ki Ageng" ini bukanlah nama asli tetapi nama sebutan yang
terkait dengan asal daerah keduanya. Pengging adalah daerah di wilayah Boyolali sekarang
dan Tingkir merupakan salah satu kecamatan di Salatiga.
Referensi
·
Andjar Any. 1980. Raden Ngabehi Ronggowarsito,
Apa yang Terjadi? Semarang: Aneka Ilmu
·
Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi
Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta:
Narasi
·
H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan-Kerajaan
Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
·
Hayati dkk. 2000. Peranan Ratu Kalinyamat di
jepara pada Abad XVI. Jakarta: Proyek Peningkatan Kesadaran Sejarah
Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal
Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional
·
Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa:
Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius
·
Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa.
Yogyakarta: Media Ilmu
·
Ricklefs, M. C., A
History of Modern Indonesia since c. 1200, Palgrave MacMillan, New York,
2008 (terbitan ke-4), ISBN 978-0-230-54686-8
Gelar
kebangsawanan
|
||
Didahului
oleh:
Sunan Prawoto |
Raja
Pajang
1549—1582 |
Diteruskan oleh:
Pangeran Benawa |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar