Selasa, 24 Maret 2015

Sultan Agung dari Mataram - Sultan ke-tiga Kesultanan Mataram

Sultan Agung dari Mataram 

Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma
Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram
Sultan Agung Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman
Susuhunan Hanyakrakusuma
Panembahan Hanyakrakusuma
Prabu Pandita Hanyakrakusuma
Senapati-ing-Ngalaga Sayidin Panatagama
Lukisan Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma
Masa kekuasaan
1613 – 1645
Pendahulu
Adipati Martapura
Pengganti
Amangkurat I
Pasangan
Ratu Kulon putri Kesultanan Cirebon
Ratu Wetan putri AdipatiBatang
Wangsa
Flag of the Sultanate of Mataram.svg Dinasti Mataram
Ayah
Panembahan Hanyakrawati
Ibu
Ratu Mas Adi Dyah Banawati
Perangko Republik Indonesiacetakan tahun 2006 edisi Sultan Agung.
Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (Bahasa Jawa: Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo, lahir: Kutagede, Kesultanan Mataram, 1593 - wafat: Karta (Plered, Bantul), Kesultanan Mataram, 1645) adalah Sultan ke-tiga Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645. Di bawah kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara pada saat itu.
Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung telah ditetapkan menjadi pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. PresidenNo. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975.
Silsilah keluarga
Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau terkenal pula dengan sebutan Raden Mas Rangsang. Merupakan putra dari pasangan Prabu Hanyakrawati dan Ratu Mas Adi Dyah Banawati. Ayahnya adalah raja keduaMataram, sedangkan ibunya adalah putri Pangeran Benawa raja Pajang.
Versi lain mengatakan, Sultan Agung adalah putra Pangeran Purbaya (kakak Prabu Hanyakrawati). Konon waktu itu, Pangeran Purbaya menukar bayi yang dilahirkan istrinya dengan bayi yang dilahirkan Dyah Banawati. Versi ini adalah pendapat minoritas sebagian masyarakat Jawa yang kebenarannya perlu untuk dibuktikan.
Sebagaimana umumnya raja-raja Mataram, Sultan Agung memiliki dua orang permaisuri utama. Yang menjadi Ratu Kulon adalah putri sultan Cirebon, melahirkan Raden Mas Syahwawrat atau "Pangeran Alit". Sedangkan yang menjadiRatu Wetan adalah putri Adipati Batang (cucu Ki Juru Martani) yang melahirkan Raden Mas Sayidin (kelak menjadi Amangkurat I).
Gelar yang Dipakai
Pada awal pemerintahannya, Raden Mas Rangsang bergelar "Panembahan Hanyakrakusuma" atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma". Kemudian setelah menaklukkan Madura tahun 1624, ia mengganti gelarnya menjadi "Susuhunan Agung Hanyakrakusuma", atau disingkat "Sunan Agung Hanyakrakusuma".
Setelah 1640-an ia menggunakan gelar "Sultan Agung Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman". Pada tahun 1641 Sunan Agung mendapatkan gelar bernuansa Arab. Gelar tersebut adalah "Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram", yang diperolehnya dari pemimpin Ka'bah di Makkah,
Untuk mudahnya, nama yang dipakai dalam artikel ini adalah nama yang paling lazim dan populer, yaitu "Sultan Agung".
Awal pemerintahan
Raden Mas Rangsang naik takhta pada tahun 1613 dalam usia 20 tahun menggantikan adiknya(beda ibu), Adipati Martapura, yang hanya menjadi Sultan Mataram selama satu hari. Sebenarnya secara teknis Raden Mas Rangsang adalah Sultan ke-empat Kesultanan Mataram, namun secara umum dianggap sebagai Sultan ke-tiga karena adiknya yang menderita tuna grahita diangkat hanya sebagai pemenuhan janji ayahnya, Panembahan Hanyakrawati kepada istrinya,Ratu Tulungayu. Setelah pengangkatannya menjadi sultan, dua tahun kemudian, patih senior Ki Juru Martani wafat karena usia tua, dan kedudukannya digantikan oleh Tumenggung Singaranu.
Ibu kota Mataram saat itu masih berada di Kota Gede. Pada tahun 1614 mulai dibangun istana baru di desa Karta, sekitar 5 km di sebelah barat daya Kota Gede, yang kelak mulai ditempati pada tahun 1618.
Saingan besar Mataram saat itu tetap Surabaya dan Banten. Pada tahun 1614 Sultan Agung mengirim pasukan menaklukkan sekutu Surabaya, yaitu Lumajang. Dalam perang di Sungai Andaka, Tumenggung Surantani dari Mataram tewas oleh Panji Pulangjiwa menantu Rangga Tohjiwa bupati Malang. Lalu Panji Pulangjiwa sendiri mati terjebak perangkap yang dipasang Tumenggung Alap-Alap.
Pada tahun 1615 Sultan Agung memimpin langsung penaklukan Wirasaba ibukota Majapahit (sekarang Mojoagung, Jombang). Pihak Surabaya mencoba membalas. Adipati Pajang juga berniat mengkhianati Mataram namun masih ragu-ragu untuk mengirim pasukan membantu Surabaya. Akibatnya, pasukan Surabaya dapat dihancurkan pihak Mataram padaJanuari 1616 di desa Siwalan.
Kemenangan Sultan Agung berlanjut di Lasem dan Pasuruan tahun 1616. Kemudian pada tahun 1617 Pajang memberontak tapi dapat ditumpas. Adipati dan panglimanya (bernama Ki Tambakbaya) melarikan diri ke Surabaya.
Menaklukkan Surabaya
Pada tahun 1620 pasukan Mataram mulai mengepung kota Surabaya secara periodik. Sungai Mas dibendung untuk menghentikan suplai air, namun kota ini tetap mampu bertahan.
Sultan Agung kemudian mengirim Tumenggung Bahureksa (bupati Kendal) untuk menaklukkan Sukadana (Kalimantansebelah barat daya) tahun 1622. Dikirim pula Ki Juru Kiting (putra Ki Juru Martani) untuk menaklukkan Madura tahun 1624. Pulau Madura yang semula terdiri atas banyak kadipaten kemudian disatukan di bawah pimpinan Pangeran Prasena yang bergelar Cakraningrat I.
Dengan direbutnya Sukadana dan Madura, posisi Surabaya menjadi lemah, karena suplai pangan terputus sama sekali. Kota ini akhirnya jatuh karena kelaparan pada tahun 1625, bukan karena pertempuran. Pemimpinnya yang bernamaPangeran Jayalengkara pun menyerah pada pihak Mataram yang dipimpin Tumenggung Mangun-oneng.
Beberapa waktu kemudian, Jayalengkara meninggal karena usia tua. Sementara putranya yang bernama Pangeran Pekikdiasingkan ke Ampel. Surabaya pun resmi menjadi bawahan Mataram, dengan dipimpin oleh Tumenggung Sepanjangsebagai bupati.
Pasca penaklukan Surabaya
Setelah penaklukan Surabaya, keadaan Mataram belum juga tentram. Rakyat menderita akibat perang yang berkepanjangan. Sejak tahun 1625-1627 terjadi wabah penyakit melanda di berbagai daerah, yang menewaskan dua per tiga jumlah penduduknya.
Pada tahun 1627 terjadi pula pemberontakan Pati yang dipimpin oleh Adipati Pragola, sepupu Sultan Agung sendiri. Pemberontakan ini akhirnya dapat ditumpas namun dengan biaya yang sangat mahal.
Hubungan dengan VOC
Pada tahun 1614 VOC (yang saat itu masih bermarkas di Ambon) mengirim duta untuk mengajak Sultan Agung bekerja sama namun ditolak mentah-mentah. Pada tahun 1618 Mataram dilanda gagal panen akibat perang yang berlarut-larut melawan Surabaya. Meskipun demikian, Sultan Agung tetap menolak bekerja sama dengan VOC.
Pada tahun 1619 VOC berhasil merebut Jayakarta di bagian Barat pulau Jawa yang belum ditaklukkan Mataram, dan mengganti namanya menjadi Batavia. Markas mereka pun dipindah ke kota itu. Menyadari kekuatan bangsa Belandatersebut, Sultan Agung mulai berpikir untuk memanfaatkan VOC dalam persaingan menghadapi Surabaya dan Banten.
Maka pada tahun 1621 Mataram mulai menjalin hubungan dengan VOC. Kedua pihak saling mengirim duta besar. Akan tetapi, VOC ternyata menolak membantu saat Mataram menyerang Surabaya. Akibatnya, hubungan diplomatik kedua pihak pun putus.
Menyerbu Batavia
Sasaran Mataram berikutnya setelah Surabaya jatuh adalah Banten yang ada di ujung Barat pulau Jawa. Akan tetapi posisiBatavia yang menjadi penghalang perlu diatasi terlebih dahulu oleh Mataram.
Bulan April 1628 Kyai Rangga bupati Tegal dikirim sebagai duta ke Batavia untuk menyampaikan tawaran damai dengan syarat-syarat tertentu dari Mataram. Tawaran tersebut ditolak pihak VOC sehingga Sultan Agung memutuskan untuk menyatakan perang.
Maka, pada 27 Agustus 1628 pasukan Mataram dipimpin Tumenggung Bahureksa, bupati Kendal tiba di Batavia. Pasukan kedua tiba bulan Oktober dipimpin Pangeran Mandurareja (cucu Ki Juru Martani). Total semuanya adalah 10.000 prajurit. Perang besar terjadi di benteng Holandia. Pasukan Mataram mengalami kehancuran karena kurang perbekalan. Menanggapi kekalahan ini Sultan Agung bertindak tegas, pada bulan Desember 1628 ia mengirim algojo untuk menghukum mati Tumenggung Bahureksa dan Pangeran Mandurareja. Pihak VOC menemukan 744 mayat orang Jawaberserakan dan sebagian tanpa kepala.
Sultan Agung kembali menyerang Batavia untuk kedua kalinya pada tahun berikutnya. Pasukan pertama dipimpin Adipati Ukur berangkat pada bulan Mei 1629, sedangkan pasukan kedua dipimpin Adipati Juminah berangkat bulan Juni. Total semua 14.000 orang prajurit. Kegagalan serangan pertama diantisipasi dengan cara mendirikan lumbung-lumbung beras di Karawang dan Cirebon. Namun pihak VOC berhasil memusnahkan semuanya.
Walaupun kembali mengalami kekalahan, serangan kedua Sultan Agung berhasil membendung dan mengotori Sungai Ciliwung, yang mengakibatkan timbulnya wabah penyakit kolera melanda Batavia. Gubernur jenderal VOC yaitu J.P. Coenmeninggal menjadi korban wabah tersebut.
Setelah kekalahan di Batavia
Sultan Agung pantang menyerah dalam perseteruannya dengan VOC Belanda. Ia mencoba menjalin hubungan dengan pasukan Kerajaan Portugis untuk bersama-sama menghancurkan VOC. Namun hubungan kemudian diputus tahun 1635karena ia menyadari posisi Portugis saat itu sudah lemah.
Kekalahan di Batavia menyebabkan daerah-daerah bawahan Mataram berani memberontak untuk merdeka. Diawali dengan pemberontakan para ulama Tembayat yang berhasil ditumpas pada tahun 1630. Kemudian Sumedang dan Ukurmemberontak tahun 1631. Sultan Cirebon yang masih setia berhasil memadamkan pemberontakan Sumedang tahun1632.
Pemberontakan-pemberontakan masih berlanjut dengan munculnya pemberontakan Giri Kedaton yang tidak mau tunduk kepada Mataram. Karena pasukan Mataram merasa segan menyerbu pasukan Giri Kedaton yang masih mereka anggap keturunan Sunan Giri, maka yang ditugasi melakukan penumpasan adalah Pangeran Pekik pemimpin Ampel. Pangeran Pekik sendiri telah dinikahkan dengan Ratu Pandansari adik Sultan Agung pada tahun 1633. Pemberontakan Giri Kedaton ini berhasil dipadamkan pasangan suami istri tersebut pada tahun 1636.
Akhir kekuasaan
Wilayah kekuasaan Kesultanan Mataram dalam masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645)
Pada tahun 1636 Sultan Agung mengirim Pangeran Selarong (saudara seayah Sultan Agung, putraPanembahan Hanyakrawati dan selir Lung Ayu dariPanaraga) untuk menaklukkan Blambangan di ujung timur Pulau Jawa. Meskipun mendapat bantuan dariBali, negeri Blambangan tetap dapat dikalahkan pada tahun 1640.
Dalam masa Sultan Agung, seluruh Pulau Jawa sempat tunduk dalam kekuasaan Kesultanan Mataram, kecualiBatavia yang masih diduduki militer VOC Belanda. Sedangkan desa Banten telah berasimilasi melalui peleburan kebudayaan. Wilayah luar Jawa yang berhasil ditundukkan adalah Palembang di Sumatra tahun 1636 dan Sukadana di Kalimantan tahun 1622. Sultan Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, negeri terkuat di Sulawesi saat itu.
Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar yang tidak hanya dibangun di atas pertumpahan darah dan kekerasan, namun melalui kebudayaan rakyat yang adiluhung dan mengenalkan sistem-sistem pertanian. Negeri-negeri pelabuhan dan perdagangan seperti Surabaya dan Tuban dimatikan, sehingga kehidupan rakyat hanya bergantung pada sektor pertanian.
Sultan Agung menaruh perhatian besar pada kebudayaan Mataram. Ia memadukan Kalender Hijriyah yang dipakai di pesisir utara dengan Kalender Saka yang masih dipakai di pedalaman. Hasilnya adalah terciptanya Kalender Jawa Islamsebagai upaya pemersatuan rakyat Mataram. Selain itu Sultan Agung juga dikenal sebagai penulis naskah berbau mistik, berjudul Sastra Gending.
Di lingkungan keraton Mataram, Sultan Agung menetapkan pemakaian bahasa bagongan yang harus dipakai oleh para bangsawan dan pejabat untuk menghilangkan kesenjangan satu sama lain. Bahasa ini digunakan supaya tercipta rasa persatuan di antara penghuni istana.
Sementara itu Bahasa Sunda juga mengalami perubahan sejak Mataram menguasai Jawa Barat. Hal ini ditandai dengan terciptanya bahasa halus dan bahasa sangat halus yang sebelumnya hanya dikenal di Jawa Tengah.
Wafatnya Sultan Agung


Pintu masuk ke makam Sultan Agung di Pemakaman Imogiri di Imogiri,Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia (foto tahun 1890).
Menjelang tahun 1645 Sultan Agung merasa ajalnya sudah dekat. Ia pun membangun Astana Imogiri sebagai pusat pemakaman keluarga raja-rajaKesultanan Mataram mulai dari dirinya. Ia juga menuliskan serat Sastra Gendingsebagai tuntunan hidup trah Mataram.
Sesuai dengan wasiatnya, Sultan Agung yang meninggal dunia tahun 1645digantikan oleh putranya yang bernama Raden Mas Sayidin sebagai raja Mataram selanjutnya, bergelar Amangkurat I.



Ki Ageng Pamanahan - Pendiri Mataram

Ki Ageng Pamanahan
Lukisan Foto Ki Ageng Pemanahan (Ilustrasi)
Ki Ageng Pamanahan atau Ki Gede Pamanahan, adalah pendiri desaMataram tahun 1556, yang kemudian berkembang menjadi Kesultanan Mataram di bawah pimpinan putranya, yang bergelar Panembahan Senapati.
Asal usul
Ki Pamanahan adalah putra Ki Ageng Henis, putra Ki Ageng Sela. Ia menikah dengan sepupunya sendiri, yaitu Nyai Sabinah, putri Nyai Ageng Saba (kakak perempuan Ki Ageng Henis).
Ki Pamanahan dan adik angkatnya, yang bernama Ki Penjawi, mengabdi padaHadiwijaya bupati Pajang yang juga murid Ki Ageng Sela. Keduanya dianggapkakak oleh raja dan dijadikan sebagai lurah wiratamtama di Pajang.
Peran awal
Sepeninggal Sultan Trenggana tahun 1546, Kesultanan Demak mengalami perpecahan akibat perebutan takhta. Putra Sultan yang naik takhta bergelar Sunan Prawata tewas dibunuh sepupunya sendiri, yaitu Arya Penangsang, bupati Jipang.
Arya Penangsang yang didukung Sunan Kudus juga membunuh Pangeran Hadiri, suami Ratu Kalinyamat, putri Sultan Trenggana. Sejak itu, Ratu Kalinyamat memilih hidup bertapa di Gunung Danaraja menunggu kematian Arya Penangsangbupati Jipang.
Arya Penangsang ganti mengirim utusan untuk membunuh Hadiwijaya di Pajang tapi gagal. Sunan Kudus pura-pura mengundang keduanya untuk berdamai. Hadiwijaya datang ke Kudus dikawal Ki Pamanahan. Pada kesempatan itu, Ki Pamanahan berhasil menyelamatkan Hadiwijaya dari kursi jebakan yang sudah dipersiapkan Sunan Kudus.
Dalam perjalanan pulang, Hadiwijaya singgah ke Gunung Danaraja. Ki Pamanahan bekerja sama dengan Ratu Kalinyamatmembujuk Hadiwijaya supaya bersedia menghadapi Arya Penangsang. Sebagai hadiah, Ratu Kalinyamat memberikan cincin pusakanya kepada Ki Pamanahan.
Ki Ageng Pemanahan sebagai Perintis Kesultanan Mataram
Perkembangan sejarah masuknya Agama Islam di Surakarta, tidak dapat dipisahkan dengan sejarah Ki Ageng Henis. Mulanya Laweyan merupakan perkampungan masyarakat yang beragama Hindu Jawa. Ki Ageng Beluk, sahabat Ki Ageng Henis, adalah tokoh masyarakat Laweyan saat itu. Ia menganut agama Hindu, tetapi karena dakwah yang dilakukan oleh Ki Ageng Henis, Ki Ageng Beluk menjadi masuk Islam. Ki Ageng Beluk kemudian menyerahkan bangunan pura Hindu miliknya kepada Ki Ageng Henis untuk diubah menjadi Masjid Laweyan.
Kerajaan Mataram Islam dirintis oleh tokoh-tokoh keturunan Raden Bondan Kejawan putra Bhre Kertabhumi. Tokoh utama Perintis Kesultanan Mataram adalah Ki Ageng Pamanahan, Ki Juru Martani dan Ki Panjawi mereka bertiga dikenal dengan "Tiga Serangkai Mataram" atau istilah lainnya adalah "Three Musketeers from Mataram". Disamping itu banyak perintis lainnya yang dianggap berjasa besar terhadap terbentuknya Kesultanan Mataram seperti : Bondan Kejawan, Ki Ageng Wonosobo, Ki Ageng Getas Pandawa, Nyai Ageng Ngerang dan Ki Ageng Ngerang, Ki Ageng Made Pandan, Ki Ageng Saba, Ki Ageng Pakringan, Ki Ageng Sela, Ki Ageng Enis dan tokoh lainnya dari keturunanan masing-masing. Mereka berperan sebagai leluhur Raja-raja Mataram yang mewarisi nama besar keluarga keturunan Brawijaya majapahit yang keturunannya menduduki tempat terhormat dimata masyarakat dengan menyandang nama Ki, Ki Gede, Ki Ageng' Nyai Gede, Nyai Ageng yang memiliki arti : tokoh besar keagamaan dan pemerintahan yang dihormati yang memiliki kelebihan, kemampuan dan sifat-sifat kepemimpinan masyarakat.
Ada beberapa fakta yang menguatkan mereka dianggap sebagai perintis Kesultanan Mataram yaitu :
·         Fakta 1 : Tokoh-tokoh perintis tersebut adalah keturunan ke 1 sampai dengan ke 6 raja Majapahit terakhir Bhre Kertabhumi yang bergelar Brawijaya V, yang sudah dapat dipastikan masih memiliki pengaruh baik dan kuat terhadap Kerajaan yang memerintah maupun terhadap masyarakat luas;

·         Fakta 2 : Tokoh-tokoh tersebut adalah keturunan Silang/Campuran dari Walisongo beserta leluhurnya yang terhubung langsung kepada Imam Husain bin Ali bin Abu Thalib, yang sudah dapat dipastikan mendapatkan bimbingan ilmu keagamaan (Islam) berikut ilmu pemerintahan ala khilafah / kekhalifahan islam jajirah Arab. Hal ini terbukti dalam aktivitas keseharian mereka juga sering berdakwah dari daerah satu ke daerah lainnya dengan mendirikan banyak Masjid, Surau dan Pesantren;

·         Fakta 3 : Para perintis tersebut pada dasarnya adalah "Misi" yang dipersiapkan oleh para Seikh dan para Wali (Wali-7 dan Wali-9) termasuk para Al-Maghrobi yang bertujuan "mengislamkan Tanah Jawa" secara sistematis dan berkelanjutan dengan cara menyatu dengan garis keturunan kerajaan.

·         Fakta 4 : Suksesi Kesultanan Demak ke Kesultanan Pajang kemudian menjadi Kesultanan Mataram pada dasarnya adalah kesinambungan dari "Misi" sesuai Fakta 3, seperti juga yang terjadi dengan Kerajaan Pajajaran, Kerajaan Sumedang Larang, Kerajaan Talaga Majalengka dan Kerajaan Surasoan Banten, di luar adanya perebutan kekuasaan.

Dengan demikian dari keempat fafta di atas, jelas sudah bahwa terbentuknya Kesultanan Mataram pada khususnya dan Kesultanan Islam di Jawa pada umumnya merupakan strategi yang dipersiapkan oleh para Syeikh dan para Wali untuk mempercepat menyebarnya Islam di Tanah Jawa, sehingga salah satu persyaratan pembentukan Kesultanan Islam baik di Jawa maupun di daerah lainnya harus mendapatkan "Legitimasi/Pengesahan" dari Mekah dan/atau Turki, jalur untuk keperluan tersebut dimiliki oleh para "Ahlul Bait" seperti para Seikh dan para Wali.
Melawan Arya Penangsang
Hadiwijaya segan memerangi Arya Penangsang karena masih sama-sama anggota keluarga Kesultanan Demak. Maka, ia pun mengumumkan sayembara, barang siapa bisa membunuh Arya Penangsang akan mendapatkan hadiah tanahMataram dan Pati.
Ki Pamanahan dan Ki Penjawi mengikuti sayembara atas desakan Ki Juru Martani (kakak ipar Ki Pamanahan). Putra Ki Pamanahan yang juga anak angkat Hadiwijaya, bernama Sutawijaya ikut serta. Hadiwijaya tidak tega sehingga memberikan pasukan Pajang untuk melindungi Sutawijaya.
Perang antara pasukan Ki Pamanahan dan Arya Penangsang terjadi di dekat Bengawan Sore. Berkat siasat cerdik yang disusun Ki Juru Martani, Arya Penangsang tewas di tangan Sutawijaya.
Ki Juru Martani menyampaikan laporan palsu kepada Hadiwijaya bahwa Arya Penangsang mati dibunuh Ki Pamanahan dan Ki Penjawi. Apabila yang disampaikan adalah berita sebenarnya, maka dapat dipastikan Hadiwijaya akan lupa memberi hadiah sayembara mengingat Sutawijaya adalah anak angkatnya.
Membuka Mataram
Hadiwijaya memberikan hadiah berupa tanah Mataram dan Pati. Ki Pamanahan yang merasa lebih tua mengalah memilihMataram yang masih berupa hutan lebat, sedangkan Ki Penjawi mandapat daerah Pati yang saat itu sudah berwujud kota.
Bumi Mataram adalah bekas kerajaan kuno yang runtuh tahun 929. Seiring berjalannya waktu, daerah ini semakin sepi sampai akhirnya tertutup hutan lebat. Masyarakat menyebut hutan yang menutupi Mataram dengan nama Alas Mentaok.
Setelah kematian Arya Penangsang tahun 1549, Hadiwijaya dilantik menjadi raja baru penerus Kesultanan Demak. Pusat kerajaan dipindah ke Pajang, di daerah pedalaman. Pada acara pelantikan, Sunan Prapen cucu (Sunan Giri) meramalkan kelak di daerah Mataram akan berdiri sebuah kerajaan yang lebih besar dari pada Pajang.
Ramalan tersebut membuat Sultan Hadiwijaya resah. Sehingga penyerahan Alas Mentaok kepada Ki Pamanahan ditunda-tunda sampai tahun 1556. Hal ini diketahui oleh Sunan Kalijaga, guru mereka. Keduanya pun dipertemukan. Dengan disaksikan Sunan Kalijaga, Ki Pamanahan bersumpah akan selalu setia kepada Sultan Hadiwijaya.
Maka sejak tahun 1556 itu, Ki Pamanahan sekeluarga, termasuk Ki Juru Martani, pindah ke Hutan Mentaok, yang kemudian dibuka menjadi desa Mataram. Ki Pamanahan menjadi kepala desa pertama bergelar Ki Ageng Mataram. Adapun status desa Mataram adalah desa perdikan atau daerah bebas pajak, di mana Ki Ageng Mataram hanya punya kewajiban menghadap saja.
Babad Tanah Jawi juga mengisahkan keistimewaan lain yang dimiliki Ki Ageng Pamanahan selaku leluhur raja-rajaMataram. Konon, sesudah membuka desa Mataram, Ki Pamanahan pergi mengunjungi sahabatnya di desa Giring. Pada saat itu Ki Ageng Giring baru saja mendapatkan buah kelapa muda bertuah yang jika diminum airnya sampai habis, si peminum akan menurunkan raja-raja Jawa.
Ki Pamanahan tiba di rumah Ki Ageng Giring dalam keadaan haus. Ia langsung menuju dapur dan menemukan kelapa muda ajaib itu. Dalam sekali teguk, Ki Pamanahan menghabiskan airnya. Ki Giring tiba di rumah sehabis mandi di sungai. Ia kecewa karena tidak jadi meminum air kelapa bertuah tersebut. Namun, akhirnya Ki Ageng Giring pasrah pada takdir bahwa Ki Ageng Pamanahan yang dipilih Tuhan untuk menurunkan raja-raja pulau Jawa.
Ki Ageng Pamanahan memimpin desa Mataram sampai meninggal tahun 1584. Ia digantikan putranya, yaitu Sutawijayasebagai pemimpin desa selanjutnya.Kelak Sutawijaya menjadi raja Mataram Islam yang pertama dengan namaPanembahan Senopati.


Silsilah Keturunan Mataram versi Mangkunegaran


·         Silsilah Keturunan Lengkap :
1.   Ki Ageng Pemanahan / Kyai Gede Mataram (Membuka Kota Gede Mataram pada tahun 1558 sebagai hadiah dari Raja Pajang), wafat pada tahun 1584, menikah dengan Nyai Sabinah (putri Ki Ageng Saba) mempunyai putra-putri 26 orang :
1.  Adipati Manduranegara
2.  Kanjeng Panembahan Senopati / Raden Sutawijaya (Sultan Mataram ke 1, pendiri, 1587-1601) menikah dengan 3 istri melahirkan putra-putri 14 orang :
1. Gusti Kanjeng Ratu Pambayun / Retna Pembayun
2. Pangeran Ronggo Samudra (Adipati Pati)
3. Pangeran Puger / Raden Mas Kentol Kejuro (Adipati Demak)
4. Pangeran Teposono
5. Pangeran Purbaya / Raden Mas Damar
6. Pangeran Rio Manggala
7. Pangeran Adipati Jayaraga / (Raden Mas Barthotot)
8. Panembahan Hadi Prabu Hanyokrowati/Panembahan Seda ing Krapyak (Sultan Mataram ke 2, 1601-1613) menikah dengan Ratu Tulung Ayu dan Dyah Banowati / Ratu Mas Hadi (Cicit dari Raden Joko Tingkir & Ratu Mas Cempaka), menurunkan putra-putri 12 orang :
1.    Sultan Agung / Raden Mas Djatmika (1593-1645), Sultan Mataram ke 3 (1613-1645) menikah dengan Permaisuri ke 1 Kanjeng Ratu Kulon / Ratu Mas Tinumpak (putri Panembahan Ratu Cirebon ke 4 setelah Sunan Gunung Jati), permaisuri ke 2 Kanjeng Ratu Batang / Ratu Ayu Wetan / Kanjeng Ratu Kulon mempunyai 9 orang putra-putri :
1.    Raden Mas Sahwawrat / Pangeran Temenggong Pajang
2.    Raden Mas Kasim / Pangeran Demang Tanpa Nangkil
3.    Pangeran Ronggo Kajiwan
4.    Gusti Ratu Ayu Winongan
5.    Pangeran Ngabehi Loring Pasar
6.    Pangeran Ngabehi Loring Pasar
7.    Sunan Prabu Amangkurat Agung / Amangkurat I / Raden Mas Sayidin (Sultan Mataram ke 4, 1646-1677) wafat 13 Juli 1677 di Banyumas.
1.    Sunan Prabu Mangkurat II / Sunan Amral / Raden Mas Rahmat (Sunan Kartasura ke 1, 1677-1703)
1.    Sunan Prabu Amangkurat III (Sunan Kartasura ke 2, 1703-1705)
2.    Susuhunan Pakubuwono I / Pangeran Puger / Raden Mas Drajat (Sunan Kartasura ke 3, 1704-1719)
1.    Raden Mas Sengkuk
2.    Prabu Amangkurat IV (Mangkurat Jawi) wafat 20 April 1726
1.    Kanjeng Pangeran Arya Mangkunegara (Mangkunegara I, 1757-1795)
2.    Gusti Raden Ayu Suroloyo, di Brebes
3.    Gusti Raden Ayu Wiradigda
4.    Gusti Pangeran Hario Hangabehi
5.    Gusti Pangeran Hario Pamot
6.    Gusti Pangeran Hario Diponegoro
7.    Gusti Pangeran Hario Danupaya
8.    Sri Susuhunan Pakubuwono II / Raden Mas Prabasuyasa(Sunan Surakarta ke 1, 1726-1742)
9.    Gusti Pangeran Hario Hadinagoro
10.  Gusti Kanjeng Ratu Maduretno, Garwa Pangeran Hindranata
11.  Gusti Raden Ajeng Kacihing, Dewasa Sedho
12.  Gusti Pangeran Hario Hadiwijoyo
13.  Gusti Raden Mas Subronto, Wafat Dalam Usia Dewasa
14.  Gusti Pangeran Hario Buminoto
15.  Pangeran Hario Mangkubumi Hamengku Buwono I (Sultan Yogyakarta Ke 1, 1717-1792)
16.  Sultan Dandunmatengsari
17.  Gusti Raden Ayu Megatsari
18.  Gusti Raden Ayu Purubaya
19.  Gusti Raden Ayu Pakuningrat di Sampang
20.  Gusti Pangeran Hario Cokronegoro
21.  Gusti Pangeran Hario Silarong
22.  Gusti Pangeran Hario Prangwadono
23.  Gusti Raden Ayu Suryawinata di Demak
24.  Gusti Pangeran Hario Panular
25.  Gusti Pangeran Hario Mangkukusumo
26.  Gusti Raden Mas Jaka
27.  Gusti Raden Ayu Sujonopuro
28.  Gusti Pangeran Hario Dipawinoto
29.  Gusti Raden Ayu Adipati Danureja I
3.    Pangeran Diposonto / Ki Ageng Notokusumo
4.    Raden Ayu Lembah
5.    Raden Ayu Himpun
6.    Raden Suryokusumo
7.    Pangeran Blitar
8.    Pangeran Dipanegara Madiun
9.    Pangeran Purbaya
10.  Kyai Adipati Nitiadiningrat I Raden Garudo (groedo)
11.  Raden Suryokusumo
12.  Tumenggung Honggowongso / Joko Sangrib (Kentol Surawijaya)
3.    Gusti Raden Ayu Pamot
4.    Pangeran Martosana
5.    Pangeran Singasari
6.    Pangeran Silarong
7.    Pangeran Notoprojo
8.    Pangeran Satoto
9.    Pangeran Hario Panular
10.  Gusti Raden Ayu Adip Sindurejo
11.  Raden Ayu Bendara Kaleting Kuning
12.  Gusti Raden Ayu Mangkuyudo
13.  Gusti Raden Ayu Adipati Mangkupraja
14.  Pangeran Hario Mataram
15.  Bandara Raden Ayu Danureja / Bra. Bendara
16.  Gusti Raden Ayu Wiromenggolo / R.Aj. Pusuh
8.    Gusti Raden Ayu Wiromantri
9.    Pangeran Danupoyo/Raden Mas Alit
2.    Pangeran Mangkubumi
3.    Pangeran Bumidirja
4.    Pangeran Arya Martapura / Raden Mas Wuryah (1605-1688)
5.    Ratu Mas Sekar / Ratu Pandansari
6.    Kanjeng Ratu Mas Sekar
7.    Pangeran Bhuminata
8.    Pangeran Notopuro
9.    Pangeran Pamenang
10.  Pangeran Sularong / Raden Mas Chakra (wafat Desember 1669)
11.  Gusti Ratu Wirokusumo
12.  Pangeran Pringoloyo
9. Gusti Raden Ayu Demang Tanpa Nangkil
10.  Gusti Raden Ayu Wiramantri
11.  Pangeran Adipati Pringgoloyo I (Bupati Madiun, 1595-1601)
12.  Ki Ageng Panembahan Djuminah/Pangeran Djuminah/Pangeran Blitar I (Bupati Madiun, 1601-1613)
13.  Pangeran Adipati Martoloyo / Raden Mas Kanitren (Bupati Madiun 1613-1645)
14.  Pangeran Tanpa Nangkil
3.  Pangeran Ronggo
4.  Nyai Ageng Tumenggung Mayang menikah dengan Kyai Ageng Tumenggung Mayang berputra 1 orang :
1. Raden Pabelan (wafat 1587)
5.  Pangeran Hario Tanduran
6.  Nyai Ageng Tumenggung Jayaprana
7.  Pangeran Teposono
8.  Pangeran Mangkubumi
1. Adipati Sukawati
2. Bagus Petak Madiun
9.  Pangeran Singasari/Raden Santri
1. Pangeran Blitar
10.  Raden Ayu Kajoran
11.  Pangeran Gagak Baning (Adipati Pajang, 1588-1591)
12.  Pangeran Pronggoloyo
13.  Nyai Ageng Haji Panusa, ing Tanduran
14.  Nyai Ageng Panjangjiwa
15.  Nyai Ageng Banyak Potro, ing Waning
16.  Nyai Ageng Kusumoyudo ing Marisi
17.  Nyai Ageng Wirobodro, ing Pujang
18.  Nyai Ageng Suwakul
19.  Nyai Ageng Mohamat Pekik ing Sumawana
20.  Nyai Ageng Wiraprana ing Ngasem
21.  Nyai Ageng Hadiguno ing Pelem
22.  Nyai Ageng Suroyuda ing Kajama
23.  Nyai Ageng Mursodo ing Silarong
24.  Nyai Ageng Ronggo ing Kranggan
25.  Nyai Ageng Kawangsih ing Kawangsen

26.  Nyai Ageng Sitabaya ing Gambiro