Aji
Saka adalah legenda Jawa yang mengisahkan tentang
kedatangan peradaban ke tanah Jawa, dibawa oleh seorang raja
bernama Aji Saka. Kisah ini juga menceritakan mengenai mitos asal usul Aksara
Jawa.[1]
Asal mula
Disebutkan Aji Saka berasal dari
Bumi Majeti. Bumi Majeti sendiri adalah negeri antah-berantah mitologis, akan
tetapi ada yang menafsirkan bahwa Aji Saka berasal dari Jambudwipa (India) dari
suku Shaka (Scythia), karena itulah ia bernama Aji Saka (Raja Shaka).
Legenda ini melambangkan kedatangan Dharma (ajaran dan peradaban Hindu-Buddha)
ke pulau Jawa. Akan tetapi penafsiran lain beranggapan bahwa kata Saka adalah
berasal dari istilah dalam Bahasa Jawa saka atausoko yang
berarti penting, pangkal, atau asal-mula, maka namanya bermakna "raja
asal-mula" atau "raja pertama". Mitos ini mengisahkan mengenai
kedatangan seorang pahlawan yang membawa peradaban, tata tertib dan keteraturan
ke Jawa dengan mengalahkan raja raksasa jahat yang menguasai pulau ini. Legenda
ini juga menyebutkan bahwa Aji Saka adalah pencipta tarikh Tahun Saka,
atau setidak-tidaknya raja pertama yang menerapkan sistem kalender Hindu di
Jawa. Kerajaan Medang Kamulan mungkin merupakan kerajaan pendahulu
atau dikaitkan dengan Kerajaan Medang dalam catatan sejarah.
Ringkasan
Membawa peradaban ke Jawa
Segera setelah pulau Jawa
dipakukan ke tempatnya, pulau ini menjadi dapat dihuni. Akan tetapi bangsa
pertama yang menghuni pulau ini adalah bangsa denawa (raksasa)
yang biadab, penindas, dan gemar memangsa manusia. Kerajaan yang pertama
berdiri di pulau ini adalah Medang Kamulan, dipimpin oleh raja raksasa
bernama Prabu Dewata Cengkar, raja raksasa yang lalim yang punya kebiasaan
memakan manusia dan rakyatnya.
Pada suatu hari datanglah seorang
pemuda bijaksana bernama Aji Saka yang berniat melawan kelaliman Prabu Dewata
Cengkar. Aji Saka berasal dari Bumi Majeti. Suatu hari menjelang
keberangkatannya ia memberi amanat kepada kedua abdinya yang bernama Dora dan
Sembodo, bahwa ia akan berangkat ke Jawa. Ia berpesan bahwa saat ia pergi
mereka berdua harus menjaga pusaka milik Aji Saka. Tidak ada seorangpun yang
boleh mengambil pusaka itu selain Aji Saka sendiri. Setelah tiba di Jawa, Aji
Saka menuju ke pedalaman tempat ibu kota Kerajaan Medang Kamulan. Ia kemudian
menantang Dewata Cengkar bertarung. Setelah pertarungan yang sengit, Aji Saka
akhirnya berhasil mendorong Prabu Dewata Cengkar ke laut Selatan (Samudra
Hindia). Akan tetapi Dewata Cengkar belum mati, ia berubah wujud menjadi Bajul
Putih (Buaya Putih). Maka Aji Saka naik takhta sebagai raja Medang Kamulan.
Kisah ular raksasa
Sementara itu seorang perempuan
tua di desa Dadapan, menemukan sebutir telur. Ia meletakkan telur itu di
lumbung padi. Setelah beberapa waktu telur itu hilang dan sebagai gantinya
terdapat seekor ular besar di dalam lumbung itu. Orang-orang desa berusaha membunuh
ular itu, akan tetapi secara ajaib ular itu dapat berbicara: "Aku anak
dari Aji Saka, bawalah aku kepadanya!" Maka diantarkanlah ia ke istana.
Aji Saka mau mengakui ular itu sebagai putranya dengan syarat bahwa ular itu
dapat mengalahkan dan membunuh Bajul Putih di Laut Selatan. Ular itu
menyanggupi, setelah berkelahi dengan sangat sengit dengan kedua pihak
memperlihatkan kekuatan yang luar biasa, ular itu akhirnya dapat membunuh Bajul
Putih.
Sesuai janjinya ular itu diangkat
anak oleh Aji Saka dan diberi nama Jaka Linglung (anak lelaki yang bodoh). Di
istana Jaka Linglung dengan rakus memangsa semua hewan peliharaan istana.
Sebagai hukumannya sang raja mengusir dia ke hutan Pesanga. Ia diikat erat
hingga tak dapat bergerak, lalu Aji Saka bersabda bahwa ia hanya boleh memakan
benda apa saja yang masuk ke mulutnya.
Suatu hari ada sembilan orang
bocah lelaki bermain di hutan. Tiba-tiba turun hujan, mereka pun berlarian
mencari tempat berteduh. Untungnya mereka menemukan sebuah gua. Hanya delapan
anak yang masuk berteduh ke gua itu. Seorang anak yang menderita penyakit kulit
dilarang ikut masuk ke dalam gua. Tiba-tiba gua runtuh dan menutup pintu
keluarnya. Delapan orang bocah itu hilang terkurung di gua. Sesungguhnya gua
itu adalah mulut Jaka Linglung.
Asal mula aksara Jawa
Sementara setelah Aji Saka
memerintah di Medang Kamulan, Aji Saka mengirim utusan pulang ke rumahnya di
Bumi Majeti untuk mengabarkan kepada abdinya yang setia Dora and Sembodo, untuk
mengantarkan pusakanya ke Jawa. Utusan itu bertemu Dora dan mengabarkan pesan
Aji Saka. Maka Dora pun mendatangi Sembodo untuk memberitahukan perintah Aji
Saka. Sembodo menolak memberikan pusaka itu karena ia ingat pesan Aji Saka:
tidak ada seorangpun kecuali Aji Saka sendiri yang boleh mengambil pusaka itu.
Dora dan Sembodo saling mencurigai bahwa masing-masing pihak ingin mencuri
pusaka tersebut. Akhirnya mereka bertarung, dan karena kedigjayaan keduanya
sama maka mereka sama-sama mati. Aji Saka heran mengapa pusaka itu setelah
sekian lama belum datang juga, maka ia pun pulang ke Bumi Majeti. Aji saka
terkejut menemukan mayat kedua abdi setianya dan akhirnya menyadari
kesalahpahaman antara keduanya berujung kepada tragedi ini. Untuk mengenang
kesetiaan kedua abdinya maka Aji Saka menciptakan sebuah puisi yang jika dibaca
menjadi Aksara Jawa hanacaraka. Susunan alfabet aksara Jawa menjadi
puisi sekaligus pangram sempurna, yang diterjemahkan sebagai berikut.[2]:
Hana caraka Ada dua utusan
data sawala Yang saling berselisih
padha jayanya (Mereka) sama jayanya (dalam perkelahian)
maga bathanga Inilah mayat (mereka).
data sawala Yang saling berselisih
padha jayanya (Mereka) sama jayanya (dalam perkelahian)
maga bathanga Inilah mayat (mereka).
secara rinci:
hana / ana =
ada
caraka = utusan (arti sesungguhnya, 'orang kepercayaan')
data = punya
sawala = perbedaan (perselisihan)
padha = sama
jayanya = 'kekuatannya' atau 'kedigjayaannya', 'jaya' dapat berarti 'kejayaan'
maga = 'inilah'
bathanga = mayatnya
caraka = utusan (arti sesungguhnya, 'orang kepercayaan')
data = punya
sawala = perbedaan (perselisihan)
padha = sama
jayanya = 'kekuatannya' atau 'kedigjayaannya', 'jaya' dapat berarti 'kejayaan'
maga = 'inilah'
bathanga = mayatnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar